Sabtu, 28 Juni 2014

The End

Banyak orang beranggapan, cinta dan persahabatan adalah hal yang sulit disamaratakan, Tapi terkadang jika kita yakin dengan pilihan hati kecil kita, pada akhirnya semuanya kan jelas, ya dalam artian semuanya akan mudah dimengerti dan dipahami dengan sendirinya.
dalam sepenggal kisahku ini, aku hanya akan mengenalkan pola fikirku tentang beberapa kalimat introduce di atas.
Aku… Dimas Linggar Anggara, akrabku biasa dipanggil Dimas, saat itu statusku masih sebagai mahasiswa semester 3 fakultas ekonomi pada sebuah universitas terkemuka di Jakarta.
Hidupku saat itu kurasa cukup mendekati sempurna, materi tercukupi, kasih sayang orangtua lebih dari cukup, karena aku anak tunggal, jadi otomatis kasih sayang mereka tercurah sepenuhnya ke aku, bahkan aku sendiri pun seakan risih dengan perlakuan mereka terhadapku yang seakan masih menganggapku seperti anak 10 tahun, tapi ya sudahlah mungkin cara mereka mengekspresikan rasa sayangnya padaku seperti itu.
Pagi itu saat mentari mulai naik dari peraduanya, burung pun masih dengan indah mengeluarkan kicauannya, cahaya pun perlahan masuk dari sela sela jendela kaca yang tirainya baru saja terbuka.
“silauuu…” gerutuku sambil menaikan kembali selimut untuk menutupi badanku.
“udah jam 6 sayang, ada kuliah pagi kan hari ini?” terdengar suara mama seraya menggoyang goyangkan tubuhku kala itu.
seperti biasanya aku paling gak bisa menolak setiap ucapan mama.
Singkatnya aktifitas dan rutinitasku pagi itu pun dimulai, dari sebuah gerbang kampus hingga masuk menyusuri lorong lorong kampus dan berakhir di sebuah ruangan kelas yang nampak biasa tapi berkesan istimewa buatku, karena di ruangan itulah aku bisa rasakan kesenengan, kesedihan, suka, duka, ketawa, gila gilaan dan masih banyak lagi, tentunya bersama teman temanku sebut saja Bella gadis ikal dengan lesung pipitnya, Andi cowok dengan tingkat PDnya yang udah melebihi batas, dan satu lagi Kania, cewek item manis dengan rambut lurus panjangnya dan senyum manisnya yang sangat kukagumi sejak SMP itu, aku pun tak tahu, perasaanku terhadapnya seperti apa, tapi yang jelas setiap aku melihatnya tersenyum, itu sebuah kebahagiaan luar biasa bagiku, the point is…!!! she is so special for me.
Namun malam itu, baru aku sadari persahabatan kami terasa menjadi lebih complicated.
“Mas!” panggil Andi padaku menjelang tidur, yang saat itu kebetulan aku sedang menginap di rumahnya, karena sehabis menyelesaikan beberapa tugas kampus.
“hmmm” jawabku singkat, aku sudah mengantuk saat itu.
“menurutmu, Kania itu cewek seperti apa” lanjutnya bertanya.
“cantik, baik, manis, penyayang… ya cukup ideal lah buat jadi wanita idaman kebanyakan pria” jawabku spontan dengan nada santai, tapi tiba tiba sepintas aku berpikir sigap banget aku menjawab setiap pertanyaan yang menyangkut Kania, entahlah.
“hmmm… salah gak sih kalo seandainya aku nembak dia Mas” lanjutnya lagi.
HAH!!! nembak? Andi suka sama Kania? lalu perasaanku? biarpun ketika itu aku masih meraba raba perasaanku sendiri terhadap Kania, tapi saat Andi mengungkapkan hal itu, rasanya sakit hati ini.
“Mas!” panggilnya lagi, setelah beberapa saat aku terdiam.
“aku ngantuk ka, besok aja ya lanjutin ceritanya” ngantuk? padahal gak sama sekali, aku cuma beralasan karena aku pun tak tau apa yang harus kukatakan, perasaanku pun saat itu cukup shock.
“ya udah deh, besok bantu aku ya Mas cari cara buat nembak kania” tutupnya.
mataku yang awalnya memang sudah mengantuk tiba tiba rasa kantuk itu sirna, hilang, mataku terjaga hingga 3 jam lamanya, pikiranku kosong dan hanya bisa menerawang ke sekeliling ruangan kamar itu dengan pandangan hampa.
Aku pikir semalam itu satu satunya tanda kejanggalan dari persahabatan kami ini, tapi…
Siang itu setelah selesai kuliah,
“Sendirian aja Mas?” tanya seorang gadis di belakangku ketika ku duduk di sebuah kursi taman tak jauh dari kampus, yang belakangan ku ketahui itu Bella.
“hei cha, gak kok aku lagi sama kania” jawabku sedikit kaget, karena saat itu aku sedang serius membaca.
“sekarang kanianya kemana?” tanyanya lagi seraya memperhatikan sekeliling tempat kami saat itu.
“kembali ke kampus, ada barangnya yang ketinggalan di kelas” jawabku ringkas, lalu kembali kurajahkan mataku pada tulisan tulisan di buku yang sedang kugenggam saat itu.
“Oooh…” lalu Bella nampak mengeluarkan nafas berat ketika itu.
Seketika hening, kurang lebih 15 menit kami terdiam.
“Mas, persahabatan kita kan udah hampir 3 tahun ya, kecuali kamu sama kania” celetuk Bella santai di sela sela keheningan kami, sedangkan aku hanya mengangguk.
“Tiap hari kita selalu bareng, ngapa ngapain bareng, kemana mana bareng, pernah gak sih kamu ngerasain hal yang beda?” lanjutnya.
“beda? maksudmu?” kali ini aku angkat bicara, tapi Bella kembali terdiam, seperti ada hal yang sedang dipikirkannya ketika itu.
“selama ini, tepatnya setahun belakangan ini, aku ngerasain perasaan yang beda Mas” ucapnya kemudian, aku hanya merenyitkan dahi tanda aku tak mengerti sama ucapannya itu.
“Hufffttt…” kembali ia mengeluarkan nafas cukup berat lagi, membuatku makin penasaran tentunya.
“Sejujurnya… aku menyimpan perasaan suka padamu Mas, aku tak tahu kenapa dan sejak kapan, sudah sering pula aku tepis rasa ini, namun tetap aku tak mampu, aku… mencintaimu Dimas”
Seketika kututup buku yang sedari tadi kubaca itu, speechless? iya, bibirku tiba tiba terkunci, lagi-lagi pandanganku kosong seperti semalam, aku pun tak tau apa yang aku pikirkan, yang jelas aku shock ketika itu.
“dan aku juga berharap, kamu mempunyai rasa yang sama terhadapku” lanjutnya seraya menatapku dengan penuh harapan, sedangkan tatapanku saat itu masih tak terarah.
“maaf cha, hatiku sudah terisi… dan itu bukan kamu” akhirnya… aku bisa menembus tembok besar yang menghalangiku untuk memberanikan diri menjawab ungkapan sahabatku itu, kali ini Bella terdiam, samar samar kulihat raut kekecewaan diwajahnya, mau gimana lagi, aku harus jujur untuk ini.
“Siapa? siapa cewek beruntung itu” tanyanya yang saat itu sepertinya tak berani menatapku.
“Kania, hatiku sudah diisi kania cha, maaf” jawabku dengan sangat hati-hati, aku harus bilang soal ini pikirku, karena sudah terlanjur masing masing dari kami mengutaAndin perasaannya, kecuali Kania.
Sekarang kami benar benar terdiam dan saling membisu satu sama lain.
“maaf cha, aku harus pergi… sekali lagi aku minta maaf” aku beranjak dari kursi, sambil kutepuk pundak Bella pelan, saat itu dia masih terpaku dengan tatapan kosong.
Lagi-lagi aku dikagetkan, beberapa saat setelah aku beranjak dari kursi dan berjalan ke belakang, ada dua orang dengan tatapan tajam melihatku.
“Kania, Andi k, k, kalian..” dengan kalimat terbata-bata coba kusahut keduanya.
Ya Tuhan, apa lagi ini…
Tatapan Andi sinis terhadapku, kenapa juga dia bisa bersama kania disini, sedangkan kini kulihat Kania menunduk, biarpun masih kuraba raut mukanya aku bisa pastikan kalo dia sedang menangis, apa mereka mendengarkan ucapanku kepada Bella tadi? apa mereka benar benar mendengarkannya? Aaaarghh…
“Aku harus pergi” lanjutku coba berlalu meninggalkan keduanya yang masih nampak diam dengan segala ekspresi yang tak bisa kugambarkan dan raut muka yang penuh dengan pertanyaan dalam benakku ketika itu.
Maaf, aku gak bermaksud! aku hanya bisa bergumam tanpa bisa kuungkapkan langsung ke mereka, sahabat sahabatku yang aku pun tak tau setelah ini persahabatan ini akan jadi seperti apa, di sela langkah kakiku yang sedikit tertatih ini, rongga hidungku terasa memanas dan sedikit perih hingga tak kusadari keluar cairan merah yang kuyakini itu darah, ya aku mimisan, untuk kesekian kalinya, memang jika kondisi fisikku sedang down itu sudah biasa terjadi.
Apa yang aku pikirkan ternyata benar dan sangat akurat, persahabatan kami benar benar sedang diuji satu sama lain, yang tak lain disebabkan oleh perasaan suci ini yang mutlak dimiliki setiap umat manusia, namun masalahnya Sikon kami ini yang tidak tepat untuk bisa lebih leluasa mengekspresikan rasa itu.
Beberapa hari di kampus, kami seperti orang asing satu sama lain, tak ada teguran, sapaan dan semacamnya, jujur bukan maksudku juga mendiamkan mereka, awalnya aku selalu menegur mereka ketika berpapasan ataupun saat di kelas, tapi memang tak terbalaskan, ya! mereka mengabaikanku.
Kadang aku berpikir, untuk menutup kisah kami, tapi sejalan dengan waktu yang telah kami lewati, itu akan sangat sulit dan bahkan mustahil terlebih jika aku harus melupakan Kania.

Hari itu, aku membuka mata yang sedikit berat, awalnya kupikir aku baru bangun tidur, yea cuma sekedar bangun tidur, namun setelah ku lihat selang infus terpasang dan jarumnya menancap tepat di punggung telapak tangan kananku dan sebuah selang lain terpasang di hidungku, aku sadar bahwa hari itu aku bukan sekedar baru bangun tidur biasa, dan belakangan kuketahui kalau aku baru bangun sejak 5 hari kemarin dikarenakan koma.
Koma? 5 hari? kenapa? pertanyaan awal di benakku saat baru kusadari keadaanku ketika itu.
Perlahan coba ku ingat lagi 5 hari yang lalu kenapa aku bisa sampai terbaring lemah disini, di sebuah ruang ICU sebuah rumah sakit ini.
setelah aku mengingat dengan keras, aku hanya bisa mengingat saat itu pandanganku buyar, badanku lemas seakan terperosok ke dalam jurang setinggi seribu kaki dan tulang tulangku seperti diloloskan hingga tak mampu lagi kakiku menopang tubuhku untuk berdiri ketika aku mencoba meraih sebuah buku di rak paling atas di perpustakaan kampus, selepasnya aku tak ingat apa apa lagi.
Dari balik pintu dengan sebuah kaca kecil di atasnya, aku melihat papa sama mama sedang mendengarkan penjelasan dokter Angga, yang tak lain adalah dokter yang selama ini merawatku dan dia juga yang pertama kali mendiagnosa kalau aku ini mengidap kanker darah atau istilah medisnya Leukimia, tapi biarpun dia menjelaskan ini penyakit serius, namun aku bersikeras dan memohon agar jangan sampai papa sama mama tau, karena kebetulan dokter Angga adalah teman lama papaku.
Tapi apa daya, sepertinya kali ini papa sama mama pasti sudah dapat penjelasan terperinci dari dokter Angga perihal kondisi penyakitku.
Tak lama setelah mereka melihatku tersadar, mereka masuk dan menghampiriku.
Mama memelukku erat, airmatanya tak terbendung, tangisannya pecah di ruangan ini, papa pun yang kukenal tegas dan tegar, tak bisa menyembunyikan kesedihannya, ini ekspresi yang tak pernah kuinginkan terlihat dari kedua orangtuaku.
“Maafkan Dimas” sedikit ucapan itu yang mampu keluar dari mulutku yang serasa kaku, dan sulit walau hanya untuk bicara.
Lepas hari itu, aku memohon dengan sangat kepada Tuhan untuk memberiku waktu lebih lama lagi untuk kuhabiskan dengan orangtuaku, juga sahabat sahabatku.
Yea sahabat sahabatku yang kini aku pun tak tau kabar mereka seperti apa, masih mengabaikanku kah? atau memang sudah tak mau lagi mengenalku? ya sudahlah mungkin kisahku dengan mereka, terlebih rasa cintaku terhadap Kania harus kukubur dalam ingatan abadiku hingga nanti Tuhan memanggilku.
Namun hari itu pertanyaan dalam benakku terjawab, setelah 3 hari aku tersadar dari tidur panjangku, Kania mendatangiku pagi pagi sekali, mungkin sekitar pukul 7an ketika itu.
“Apa kabar Mas?” tanyanya pelan, mama yang sedari tadi menemaniku sehabis menyuapiku untuk sarapan, tiba tiba pamit untuk keluar, kenapa? aku tak tau, apa mama tau maksud kedatangan Kania menemuiku? entahlah, tapi yang jelas aku cukup seneng Kania masih peduli terhadapku.
“baik, kamu apa kabar?” jawabku sambil mencoba tetap tersenyum seraya balik bertanya.
“kenapa kamu gak pernah jujur Mas, soal kondisi kamu sebenarnya sama kita sahabat-sahabat kamu” lanjutnya dengan nada kurang stabil berbalut kesedihan yang nampak di raut wajah manisnya.
Aku hanya tersenyum, karena tak ada yang harus kujelaskan, terlalu rumit untuk bisa kurinci alasan kenapa aku menutupi kondisiku pada semua orang.
“Aku minta maaf, selama ini aku terlalu takut dan malu untuk menegurmu, jadi aku hanya bisa diam Mas, di satu sisi aku malu terhadap Bella, namun di sisi lain aku merasa bersalah ke kamu, dan kalau boleh jujur aku bahagia saat hari itu, karena perasaanku terhadap kamu bisa terbalas, karena aku pun sudah menyimpan rasa ini sejak SMA Mas, namun tak bisa aku ekspresikan dan utaAndin langsung di hadapanmu terlebih di hadapan Andi dan Bella, Aku mencintaimu Dimas” uraian itu adalah uraian yang cukup panjang dari seorang Kania mengenai isi hatinya, mungkin itu alasan kenapa ia begitu tertutup soal perasaannya terhadap kami selama ini.
Kali ini aku yang menangis, whats going on? sepertinya ketegaranku sebagai lelaki sedang berada di titik terendah hingga sensitifitas dalam diriku lebih dominan ketika itu, yea aku menangis, entah itu rasa haru bahagia atau rasa lain yang masih samar samar kurasakan antara takut, sedih dan gak percaya dengan apa yang sedang terjadi waktu itu.
“Andi, bagaimana dengan Andi? dia juga mencintaimu Kania” ucapku seraya coba menghapus airmata yang tiba tiba saja keluar itu.
Sejenak Kania terdiam, begitupun juga denganku.
“Tak usah lah lagi kamu menghiraukan perasaanku Mas, sudah jelas kan kalo Kania itu mencintaimu, bukan aku” Andi tiba-tiba masuk dari balik pintu diiringi dengan Bella dari belakang.
“Kalian…” kelu, yea bibirku kali ini kelu, tak tahan lagi, bibirku bergetar tubuhku seakan mendapat sedikit energi tambahan, aku beranjak bangun ke posisi duduk di atas ranjang rumah sakit ini, Andi memelukku begitupun Bella, hingga tak kupedulikan saat itu rasa sakit yang selalu berselang setiap ku menggeAndin tubuhku ini.
Aku bahagia Tuhan, mereka masih mengingatku, mereka masih peduli padaku, mereka masih menganggapku sahabat setelah konflik hati yang kami alami akhir akhir ini.
“Aku sadar Mas, hati gak bisa dipaksakan, kamu sama Kania sudah saling mengenal lama, dan itu cukup menguatkan perasaan di antara kalian, aku rela Mas, aku ikhlas, begitupun dengan Andi, iya kan ka?” kali ini Bella angkat bicara, seraya menyikut pelan pinggang Andi, dibalas dengan anggukan kepala oleh Andi sambil tersenyum, sungguh ucapan mereka menenangkan gejolak batinku yang akhir akhir ini bergemuruh.
“Aku gak bisa ngomong apa-apa lagi guys” cetusku tak kuasa menahan haru.
kemudian Andi mengambil tangan kiriku sedangkan Bella mengambil tangan kanan Kania, mereka menyatukan tangan kami, sungguh itu saat-saat dimana harapan dan semangat hidupku berada di level tertinggi.
“Tapi, kita masih bersahabat kan?” ucapku lagi.
“Bodoh kamu Mas… Mas, pertanyaan macam apa itu, ya tentu lah, masa cuma karena ini, kita lupain waktu yang udah kita lewatin bareng” selonoh Andi seraya memegang pundak kiriku.
“Makannya, kamu harus sembuh ya Mas, aku Andi sama Bella akan sangat menantikan hal itu” kali ini Kania yang sedari tadi diam angkat bicara.
Aku hanya tersenyum, sekali lagi aku bahagia Tuhan, aku bahagia.

Ini tulisan terakhirku di kisah ini, kondisiku semakin down, para team medis sudah angkat tangan dengan keadaanku, sel kanker sudah menyebar hingga keseluruhan tulang sumsumku hingga keseluruh saraf inti di tubuhku. kemarin aku minta kepada papa sama mama agar jangan terlalu menangisi kepergianku nanti, biarpun sejujurnya aku tak pernah tega akan benar benar meninggalkan mereka.
Aku pun akan meninggalkan kisah cinta yang sesaat ini bersama Kania, dan aku minta kepada Andi agar benar benar menjaganya jika aku pergi nanti.
Tuhan, aku siap untuk meninggalkan mereka semua saat ini, dan kuharap begitu juga dengan mereka yang senantiasa bisa ikhlas atas kepergianku.

0 komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentar teman-teman, saya anggap semuanya adalah motivasi bagi saya agar menjadi lebih baik :)

Diberdayakan oleh Blogger.

SUBSCRIBE

Koleksi Gue

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "